Keinginan
orang-orang untuk mengubah anak-anak introvert
untuk menjadi lebih extravert muncul
dari kesalahpahaman bahwa introversion
adalah kekurangan yang harus diatasi dan disembuhkan. Kenyataannya, introversion dan extraversion adalah kecenderungan pribadi yang juga dipengaruhi faktor
genetis dan berada di luar kontrol manusia. Perbedaan kecenderungan ini pun
sudah terlihat dari perbedaan aktivitas pada sistem syaraf antara orang-orang extravert dan introvert.
Menurut
Marti Olsen Laney, Psy.D -seorang peneliti neuroscience
dan psikoanalis asal Amerika Serikat yang juga merupakan pelopor dalam
memberikan landasan biologis untuk introversion-
introversion merupakan kondisi
biologis. Ia mengemukakan pendapatnya berdasarkan hasil penelitian yang
menunjukkan bahwa cara kerja otak dan jalur syaraf yang digunkan oleh orang-orang
introvert berbeda dengan orang-orang extravert.
Bila
orang-orang extravert lebih banyak
menggunakan ingatan jangka pendek dan bagian otak yang berhubungan dengan rangsangan
indrawi, orang-orang introvert lebih
banyak menggunakan ingatan jangka panjang dan bagian-bagian otak yang
berhubungan dengan penyelesaian masalah, perencanaan, serta perasaan dan
pikiran. Keduanya membutuhkan neurotransmiter yang berbeda pula. Orang-orang extravert bergantung pada dopamin, yang
identik dengan kesiagaan, perhatian, gerakan, dan pembelajaran. Orang-orang extravert membutuhkan banyak dopamin
untuk merasa senang; bersikap aktif dan menerima rangsangan meningkatkan
produksi dopamin, sehingga orang-orang extravert
menyukai kesibukan.
Di
lain sisi, orang-orang introvert bergantung
pada asetilkolin, yang mempengaruhi ingatan jangka panjang dan kemampuan untuk
merasa tenang serta siaga. Asetilkolin menimbulkan perasaan senang saat
seseorang berpikir dan merasa, yang membuat orang-orang introvert menyukai berpikir dan merenung. Ia juga mengungkapkan
bahwa perbedaan biologis ini berpengaruh terhadap kecenderungan orang-orang introvert untuk lebih sensitif terhadap
berbagai jenis stimulus, seperti suhu udara, bau, suara, stimulasi visual dan
tingkat gula dalam darah.
Bukti-bukti
ilmiah ini menunjukkan bahwa introversion
tidak seharusnya dipandang sebagai sebuah kekurangan dan penyakit yang perlu
disembuhkan, namun sebagai perbedaan yang sewajarnya diterima.
Anak-anak introvert membutuhkan perhatian yang lebih dan khusus dibandingkan
dengan anak-anak yang extravert. Hal
ini tidak mengejutkan mengingat selama ini masyarakat cenderung didominasi oleh
orang-orang dan budaya yang memihak pada extraversion,
sehingga kebanyakan orang berpikir bahwa semua orang memiliki kecenderungan
yang sama dan seharusnya menunjukkan perilaku yang sama juga. Akibatnya,
orang-orang introvert yang menjadi
minoritas kerap disalahpahami sebagai orang-orang yang mengidap kelainan,
karena berbeda dengan kebanyakan orang lainnya.
Padahal,
introversion dan extraversion adalah dua hal yang berbeda dan tidak dapat
dibandingkan. Mengatakan extraversion
lebih baik daripada introversion sama
saja dengan mengatakan bahwa laki-laki lebih baik daripada perempuan; keduanya merupakan
hal yang berbeda dengan kelebihan dan kekurangan yang berbeda pula.
Bila
diskriminasi jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan telah berhasil kita hapuskan,
maka kini saatnya menghapus diskriminasi antara anak-anak introvert dan extravert,
setidaknya dalam lingkup kecil dahulu, mulai dari anak-anak di sekitar kita. Hingga
suatu saat nanti institusi-institusi pendidikan pun dapat mengembangkan metode
pendidikan yang tidak menyeragamkan pembelajaran bagi semua anak dengan tolak
ukur dan penilaian yang sama, namun juga mempertimbangkan perbedaan-perbedaan
individual dan menggali serta mengembangkan minat, bakat, dan kelebihan yang
dimiliki tiap-tiap anak dengan cara yang sejalan dengan karakteristik dan kepribadian
mereka.
sumber dari sini
0 komentar:
Posting Komentar