Rabu, 15 Mei 2013


Bulan MEI ini merupakan titik nadir bagi saya untuk menemukan jati diri. Padahal tidak pernah hilang yah! kenapa harus di temukan. dan ini lah sekelumit dari saya yang terbagi mengatas namakan bulan Mei.



Oleh: Faranggi
Awal bulan MEI

            Domyoji Tsukasa. Ah… barangkali dia cuma fiksi, tokoh dalam komik legendaris Hanayori Dango. Entah kenapa priaku hanya terpaku pada satu sosok saja. Sosok posesif yang ada dalam selonsong imaji karya negeri sakura? Entah mengapa?! Dan bagaimana?! Tiba-tiba terobsesi pada satu tokoh fiksi. Mungkinkah aku tidak normal?! Atau mungkin cuma aku saja yang suka melebih-lebihkan.
            Barangkali itu yang mendasari suatu perasaan yang secara misterius muncul dan dengan polosnya aku menamakannya ‘cinta pertama’, pada seorang pemuda yang secara fisik mirip sekali dengan Domyoji Tsukasa. Ah… bahkan sampai sekarang aku masih teringat akan senyum hangatnya.
            Beberapa orang tidak mengerti apa itu definisi dari pola cinta pertama. Aku pun sama. Tapi ada selaksa keyaninan yang menguatkanku, yang menjadikannya tetap bertahan pada posisinya. Pada hatiku. Bahwa aku tetap menganggapnya cinta. Cinta pertama.
            Satu rasa yang aneh, tak pernah terundang untuk muncul namun tiba-tiba menyemburat kemana-mana hingga aku susah mengendalikannya.
            Ah… Mas Mei, betapa selama ini aku masih mengingatmu, memproklamasikan engkau sebagai cinta pertama. Gila.
            Pertemuanku dengannya terjadi sekitar tahun 2008 [hitung saja sudah berapa tahun! Karena aku tak pandai berhitung] ketika itu masih duduk di bangku SMA. Dengan semangat menjalani PSG (Pendidikan Sistim Ganda) atau magang sederhanya. Yang dimulai tanggal 18 februari-30 april 2008. Di sebuah Kantor Pos pusat Kota Banyuwangi. Aku bersama dua teman satu kelas yang juga perempuan bahkan harus rela jauh dari belaian orang tua dan tinggal di kamar kost dengan harga sewa 150ribu per orang, dapat jatah makan dua kali sehari.
            Dengan mudah aku yang memiliki kesulitan dalam berbaur di masyarakat sosial dapat masuk di lingkungan tempat kost serta kantor yang hampir 70% karyawannya adalah pria. Dari mulai Pak Herman sang manager SDM yang sekalipun sudah tak muda lagi namun masih terlihat garis ketampanannya tak pernah pudar termakan senja. Pak Yunus kepala gudang, Pak Kadir sang mandor, Mas Fren (nama asli Supriyadi, tapi entah kenapa maunya di panggil Mas Fren) Mas Feri, dan kakak-kakak cantik bagian customer service, seperti Mbak Erwin dan Mbak Ratih. Hampir semua mengenal kami bertiga anak PSG yang paling rajin selama tiga tahun terakhir ini.
            Dan tentu saja-mendesah. Mengumpulkan tenaga-Mas Mei. Ada sensasi aneh yang menyergap begitu mau mengetik namanya diatas keyboard yang sudah mulai basah karena keringat dingin.
            Awalnya entah kenapa sosok charming, sopan, penuh pesona tak menggelitikku sedikitpun, walau kedua teman PSG ekstrovertku ini mengelu-elukannya, memujanya, bahkan kalau perlu bersujud di bawah kakinya. Tapi di mataku dia biasa saja, pemuda yang kala itu berusia 25 tahun, tampan, tinggi, berkulit bersih pasti sudah menyadari bahwa dia mempesona itu sebabnya dia berpura-pura bersikap dingin dan sopan. Padahal hatinya bajingan. Itulah deskripsi awalku mengenai Mas Mei.
            Entah sejak kapan aku mulai memperhatikannya, padahal aku bilang dia biasa saja? Entah sejak kapan mulai mencari tahu tentangnya, padahal aku meremehkannya? Perlahan aku pun mulai membuka sedikit rongga-rongga hatiku, hingga seperti angin dia merangsek masuk dan memenuhinya, memenuhi hatiku yang sudah lama menuntut untuk penuh. Hingga kini, ketika aku memikirkannya, mengejanya, menuliskan namanya. Ada satu rasa yang bergetar di palung hati, mungkin itu peninggalan napas anginnya yang masih tertinggal dalam rongga dada. Hah… Mas Mei. Begitu susah cinta ini.
            Cinta yang aneh. Cinta secara diam-diam. Cinta diam. Senyap. Sunyi. Karena cuma diam yang bisa aku dan dia tampilkan, sesama introvert. Aku dengar dia mudah canggung apabila berada di dekat seorang gadis, apalagi jika dia tahu gadis itu menyukainya. Sebisa mungkin dia akan menghindari gadis itu dan berpura-pura membencinya, atau bahkan membentaknya.
Yang terakhir itu terjadi pada Ririn anak PSG dari sekolah lain yang dengan terang-terangan mengatakan dia menyukai Mas Mei, dan meminta bantuan pada Mas Fren untuk membuatnya dekat dengan Mas Mei. Suatu hari Mas Fren meminta Ririn membantu pekerjaan Mas Mei. Dengan centilnya dia mendekat dan berusaha menjadi akrab. Diceritakan bahwa Mas Mei Nampak sangat canggung, malu, keringat dingin mengaliri wajah tampannya (Ya Allah, aku bahkan masih mengingat jelas wajahnya), begitu groginya. Kemudian Mas Mei membentak Ririn agar menjauh, jauh, jauh darinya dan jangan mencoba berlagak centil lagi dihadapannya, wanita harus bisa menjaga kehormatan dirinya. Begitu kira-kira yang diucapkan Mas Mei. Aku tidak tahu persis kronologi kejadiannya, karena waktu itu aku belum ada disana. Itu cerita yang kudapat dari Mas Fren sendiri
Kemudian sumber terpercaya lainnya yakni Mas Feri, merupakan tetangga dan lumayan mengenal akrab sosok pemalu bernama Mei ini. Ku dengar Mas Mei pernah menyukai seorang gadis (yang menurut Mas Feri biasa saja) namun Mas Mei mencintai, menghormati, menjaganya tanpa pamrih. Benar-benar beruntung gadis yang dapat dicintai seorang Mas Mei. Tapi gadis itu justru meninggalkan Mas Mei dan lebih memilih pemuda lain (gadis bodoh). Seperti manusia putus asa Mas Mei mulai menutup diri dan lagi tidak percaya pada cinta.

Itulah. Sedikit hal yang mengitari dunia Mas Mei. Dan tentang kebersamaan kami, yang membuatku kesengsem setengah mati, lebih sedikit lagi. Karena tanpa kata, tanpa suara, cinta diam-diam, diam, sunyi, senyap, hanya debaran jantungku yang samar-samar terdengar ketika kami berdua duduk berjejeran, dia di komputer pertama, aku di komputer kedua. Bisa bayangkan sakitnya memendam perasaan cinta?! Yang ku alami lebih nelangsa lagi. Selain memendam aku bahkan harus berpura-pura acuh padanya, berpura-pura bahwa anggi yang tergila-gila pada MAS MEI, sama sekali tak pernah memiliki rasa apalagi menganggapnya istimewa. Sakit tidak sih?!
Dia tidak pernah memanggil namaku, apalagi menatapku, bahkan kami tidak pernah berbincang secara intim selama tiga setengah bulan. Mungkin dia pun tidak mengetahui namaku. “Mbok de”. Begitu dia memanggilku. Bila saja pria lain apalagi tukang kuli yang berani memanggilku begitu, sudah kutebas habis lehernya dengan samurai. *Jilat samurai. Tapi berhubung ini Mas Mei. Tak apalah. Manis juga ketika keluar dari mulutnya. __”
30 April 2008. Selasa malam. Seusai magribh. Setelah melipat mukena dengan tergesa-gesa aku turun dari kamar kost yang berada di lantai dua. Setelah berpamitan pada Ibu dan Emak (duo pemilik kost), dengan berjalan kaki menyusuri jarak tiga puluh meter dari tempat kost yang berada tepat di belakang kantor Telkom yang bersebelahan dengan Kantor Pos tempatku magang. Ada janji dengan Pak Yunus untuk meminta saran dalam pembuatan laporan (mirip skripsi) yang harus diserahkan pada guru pembimbing begitu PSG usai. Sendirian. Karena aku ketua kelompok. Karena kedua temanku pulang terlebih dahulu ke rumah. Nasib. Tapi besok kembali lagi untuk menyelesaikan hari-hari terakhir PSG yang cuma tinggal satu hari lagi. Tepat di Awal Bulan Mei.
Setibanya di Kantor Pos, tepatnya di ruang belakang atau biasa disebut Gudang. Terlihat hanya tersisa beberapa karyawan saja yang memang bertugas malam. Beberapa di antaranya sedang menunaikan shalat magribh berjamaah di Mushola yang berhadapan dengan pintu masuk Gudang. Sepi. Ketika aku mengintip suasana Gudang yang tak memiliki tanda-tanda kehidupan. Berikutnya aku hanya mematung di depan pintu. Memperhatikan beberapa karyawan yang bersiap mengikuti Imam melaksanakan shalat magribh.
Mataku menangkap sosok Mas Mei yang mengenakan sarung dan jaket hitam yang biasa dia kenakan setiap hari, berdiri di barisan belakang, bersiap mengucap “Allahu Akbar”. Namun gerakan tangannya tiba-tiba berhenti tatkala matanya mengekori bayanganku. Ya Allah. Bahkan dia menghentikan shalatnya demi menengokku. Dosakah aku?
“Nyaopo mbok de?” tanyanya, sembari berjalan menghampiriku.
“Pak Yunus ndi to Mas?” aku balik bertanya.
“Wes bali toh. Pak Yunus jam 4 juga sudah pulang.” terangnya.
“Duh. Yo opo iki?! Mau jarene kate bantu aku bikin laporan.” Kataku, sedikit kesal pada Pak Yunus.
“Yo wes. Masuk saja dulu! Aku tak shalat se ya!”
Kemudian Mas Mei berlari menuju Mushola dan melanjutkan shalatnya yang sudah tertinggal satu rakaat. Pak Yunus aku menarik kalimatku kembali. Aku tidak kesal padamu bahkan aku sangat mencintaimu. La la la la… dengan gembira aku masuk dan duduk di komputer dua. Di ruang ini ada tiga komputer yang diletakkan berjajar. Aku paling suka menggunakan komputer kedua, sedangkan Mas Mei lebih suka menggunakan komputer pertama.
Tanpa kata, tanpa suara, sama-sama diam, diam, sunyi, senyap, hanya debaran jantungku yang samar-samar terdengar ketika kami berdua duduk berjejeran. Aku berkutat sendiri dengan laporanku sementara dia hanya diam dengan pekerjaannya, duduk di sampingku, di komputer pertama. Tanpa kata, tanpa suara, saling diam, diam, sunyi, senyap, hanya debaran jantungku yang samar-samar terdengar. Kurasakan keringat dingin mengalir di punggunggu. Sssrr… bulu kudukku merinding.
“Pakai Book Antiqua saja. Bagus.” Celetukkya. Tanpa menatapku. Lantas darimana dia menyadari kebimbanganku ketika ingin menentukan theme font yang mana yang akan aku gunakan. Itulah sebabnya kenapa sampai sekarang setia menggunakan book antiqua sebagai font andalan. Mungkin karena Mas Mei. Gila.

Begitulah. Waktu yang cuma tiga bulan setengah, kebersamaan singkat dari bada magribh hingga bada isya, kebutaanku akan sosoknya. Tak lantas mengurungkan niatku untuk menandai jidadnya dengan stampel bertuliskan ‘Cinta Pertama’. Oh… Mei. Betapa derasnya arusmu membawaku larut dalam senyuman yang tak pernah lekang, pada angin yang walau tak pernah kembali ke tempat pertama berhembus dan hadirnya hanya membawa gersang. Hatiku gersang. Menunggu Mei. Menunggu sosok lain menyerupai Mei andai kini kau telah termiliki.
Cinta pertama. Mei.
Biarlah cuma aku yang rasa.
            Satu kisah nyata yang coba ku tuliskan demi mengenang, melupakan Mas Mei. Aku ingin bangkit. Aku ingin bulan Mei cepat pergi. sebuah kenyataan yang tertuang tanpa satu pun tertambahi guna menggenapinya. Terbuang ya, supaya tidak terlalu panjang dan pusing bagi yang iklash membacanya, karena percayalah ceritanya bakalan panjang, panjaaang. Karena aku gila. GILA. GILAAA.

Andai saja saya memiliki sedikit  kenangan tentang Mas Mei yang bisa terbagi. Sayangnya senyum itu cuma terlukis di otakku tanpa pernah sempat terabadikan. Jadi untuk mengurangi rasa penasaran terhadap sosok Mas Mei yang di mataku mirip sekali dengan Domyoji Tsukasa. Maka demi mengobati rasa penasaran anda saya khusus mendapuk Ana untuk membuatkan sketsa wajah Domyoji Tsukasa yang sudah sangat mirip dengan Mas Mei tercinta (tjie). Terimakasi untuk Ana karena sudah mau membantu saya melepaskan Mas Mei yang tinggal sejumput lagi pergi.





0 komentar:

Tentang KAP

Selamat datang di keluarga kecil Komunitas Anak Pendiam!

Komunitas Anak Pendiam atau sering disingkat dengan KAP. Merupakan sebuah komunitas yang diisi oleh anak-anak pendiam dari seluruh penjuru Indonesia. Kami berharap komunitas ini bisa menjadi tempat bertukar cerita, bertukar pikiran, dan pengalaman dalam menjalani hidup sebagai pendiam.

Paling Banyak Dibaca