Sabtu, 27 Juni 2015

Oleh: Riski Roma

Alone by concier.xsrv.jp

Mereka bilang aku ini mempunyai dunia kecil sendiri di bagian otakku.
Mereka bilang aku ini lemah, tak berdaya mengurusi status sosialku.
Mereka bilang aku ini hanya angin, berteman hampa.
Mereka bilang aku hanya bisa terdiam, tenggelam dalam gelapnya
samudera berfantasi aneh.
Tapi, mereka tak tahu jika logikaku berbicara benar. Mereka tak tahu
jika apa yang mereka sering diucapkan hanyalah omong kosong, bagiku.
Aku bukannya beropini yang buruk, tapi kebanyakan mereka memikirkan
hal tak penting. Aku mengerti kalau itu memang ada manfaatnya, yang
pasti berbeda dengan pemikiranku.
Entah mengapa aku heran sekali pada orang berjenis kepribadian
lain─melakukan hal yang bertolak belakang denganku.
Alhasil, mereka enggan atau tidak nyamab jika harus terus di dekatku.
Hanya yang respect denganku yang tak pernah menganggapku berbeda.
Ditambah dengan keadaan fisik yang berbeda dengan yang lain.
"Suaramu seperti itu?"
Kecil. Juga tubuhku yang lembek semakin membuatku tambah payah. Tenaga
pun tak maksimal, jadi mungkinlah wajar mereka-mereka yang tak punya
perasaan seenaknya menghina diriku.
Bagai disayat-sayat.
Hanya bisa menangis menikmati setiap detak menyesakkan di dada. Aku
bodoh, aku tahu dengan ini mereka tak akan pernah memikirkan
perasaanku.
Untuk apa kujalani hidup yang tak pernah kuingankan ini?
Pada kenyataannya, godaan syetan sampai kapanpun tak akan berhenti
menggoda umat. Seperti apa yang kuhadapi ini.
Dengan begini, aku mencurahkan semuanya kepada orang yang paling
mengerti keadaanku.
"Bosan hidup, Mbak."
"Gila kamu, memangnya dengan mati kamu bisa selesai dari masalah kamu?
Kamu ini nggak pernah bersyukur atas apa yang Tuhan berikan, apa kamu
tahu sakitnya neraka bagaimana?──Hah?"
Kurasakan campur aduk dalam hatiku, entah menyesal, depresi, sekaligus
merasa salah harus mengungkapkan hal yang membuatku pasrah kepada
orang lain. Aku seakan tak pernah merasa tenang, aku merasa hanya aku
lah yang paling menderita di dunia.
Lingkungan yang menjelma derita. Aku sama sekali bimbang dengan
pilihan hidup. Keluargaku begitu bahagia dengan urusan mereka sendiri.
Dan lebih bahagia lagi, bila aku terpenjara dalam sepi istanaku ini
juga melaksanakan tugas dari mereka.
Tanpa memikirkan apakah aku ingin atau tidak atas apa yang mereka
perintahkan. Kadang mereka membatasiku untuk keluar rumah atau
apalah─yang menjadikanku hidup di dalam sini begitu aman tanpa harus
khawatir dengan kejahatan pergaulan yang sebagian terkenal brutal.
Aku bahkan sempat membayangkan jika aku memutuskan untuk mengambil
jalan pintas, apalagi kalau bukan kabur dari rumah─pergi menjemput
bahagia─sejak sanubariku berkata tak cocok untuk tinggal di sini.
Menimba kehidupan yang keras di luar sana tanpa kehangatan keluarga.
Ya, terkadang aku benci pada mereka-mereka dan mereka yang membuatku
merasa sedih.
Jadi, kupikir lebih baik menggunakan ego yang menyorong kepada
kenyataan daripada harus terdiam dalam gelapnya introvert.
Usaha inilah yang membuatku cepat menjadi ekstrovert atau berpergaulan
tinggi seperti apa yang kuharapkan dulu.
Sejujurnya, setelah aku menemukan hikmah dari semua perasaan yang
menggeliat dalam hatiku juga pemikiran yang kuat keluar-masuk dalam
hidupku.
Aku benar-benar menemukannya.
Di tengah hiruk-pikuk kesenangan dunia, aku menemukan cahaya kecil,
yang meresapi otak dan hatiku.
Keduanya berkata;
Tak mungkinlah tanpa kepribadian yang kupunya ini─tulisan-tulisan yang
masih terkurung di benak, takkan keluar.
Beribu-ribu kata telah kuukir menjadi sebuah kisah yang menyemangati
hari-hariku.
Ketulusanku menjalani hidup penuh rintangan. Mungkin tanpa pikiran
kuat sang introvert, aku bisa jadi sering lupa dengan Tuhanku sendiri.
Lupa akan ibadah karena lebih mementingkan hal semacam kesenangan atau
ego yang memuncak.
Aku bahkan sempat benci pada diriku sendiri karena kepayahanku dalam
berinteraksi. Tetapi, aku bersyukur Tuhan telah menciptakan aku dengan
kelebihan serta kekurangan yang berbeda dengan orang lain.
Aku lebih memilih bersyukur atas apa yang telah Tuhan berikan padaku selama ini.
Nikmat yang tiada tara. Yang sangat banyak.
Berbeda dengan kesulitan jutaan manusia di belahan dunia yang memekik
karena kelaparan, penindasan bahkan wilayah hidupnya dirampas.
Penderitaanku tidak ada apa-apanya dibanding mereka yang kesusahan
hidup yang parah.
Kembali pada individu. Mereka punya banyak keluhan juga berbagai cara
untuk menyelesaikannya.
Kembali, apakah keluhan dapat menyanggupi hidup?
Dan, aku sang introvert bahagia karena Tuhan menyayangiku dengan
cara-Nya sendiri.

Introvert bukan berarti hilang dari populasi.
Tapi seseorang yang dapat berpikir pasti.
Dengan kerja keras introvert bisa memajukan kreasi.
Meski dia berpikir sendiri dalam pemikiran yang sunyi.
Sepi menjadi penenangnya setiap hari.
Tetapi keramaian bukan menghalangi situasi.
Dia si beku mampu berkreasi lebih menjadi sangat tinggi.
Introvert bukan kelemahan tapi benih yang harus ditanami.
Tantangan yang harus dihadapi sepenuh hati.
Agar kelak menjadi manusia yang berguna dan saling berbagi.

0 komentar:

Tentang KAP

Selamat datang di keluarga kecil Komunitas Anak Pendiam!

Komunitas Anak Pendiam atau sering disingkat dengan KAP. Merupakan sebuah komunitas yang diisi oleh anak-anak pendiam dari seluruh penjuru Indonesia. Kami berharap komunitas ini bisa menjadi tempat bertukar cerita, bertukar pikiran, dan pengalaman dalam menjalani hidup sebagai pendiam.

Paling Banyak Dibaca