Dan inilah dia. Sebuah cerita yang tak layak di sebut sastra. Cuma cuap-cuap pengganti caci maki yang tak mampu keluar.
Midnight
Mist
Perlahan dia benamkan
telapak kakinya pada permukaan air riak yang dangkal, seolah dia ibu yang
dengan kasih dan penuh kelembutan meletakkan bayi mungilnya dalam peraduan
tempat berbaring setelah didekapnya begitu lama. Seperti itu juga dia. Mendekap
erat-erat apa yang menjadi kemelutnya. Menutup rapat-rapat supaya tidak tahu
bahwa memang ada. Seperti juga tidak tahu bahwa dirinya ada. Dirinya ada. Dia
ada. Ada. Tidak. Ada. Tidak ada. Ah, memang tidak ada yang menganggapnya ada.
Cuma
di sini kupingnya bisa damai, sebening ini. Bening seperti air yang menyelimuti
kakinya. Bahkan kalau bisa dia tak mau beranjak sekalipun gelap. Kenapa harus
takut gelap? Bukankah hidupnya juga sudah gelap. Selama ini dia cuma bisa
meraba dan menebak-nebak. Tapi jangan main tebak-tebakkan dengan Sang pemilik
Segala, atau kau akan di lemparkan dan tak akan lagi punya apa.
Dia
berbeda dari kedua orang tuanya. Dia tak suka bicara padahal orang tuanya hobi
berteriak sepanjang hari. Dia tak suka bergaul tapi Ayahnya suka menggauli
banyak wanita. Dia selalu nrimo apa
adanya padahal Ibunya banyak sekali tuntutan. Tapi dia cuma diam. Diam. Ya
hanya diam. Memangnya apalagi bakatnya selain diam.
Diam.
Dalam diam dia temukan kesejatian. Walaupun suara piring atau apapun pecah di
banting, tapi dia damai di dalam surganya sendiri. Hatinya. Surga.
Terakhir
sebelum dia putuskan pergi dari rumah (masih layak kah di sebut rumah?), apapun
itulah. Kedua orang tuanya kembali berduet dalam sebuah lagu yang hanya
mengenal pelan keras. Tak ada nada apalagi sinkronisasi.
Dunia
samsara ini memang aneh, rumit. Pantas saja banyak orang gila. Sedikit lagi dia
mungkin sama. Atau malah sudah. Manusia justru menyalahkan orang lain demi
menutupi kesalahannya. Apa salahnya mengaku salah?! Manusia tidak sempurna
kan?! Susah sekali tinggal bilang.
“Iya.
Aku memang punya simpanan. Bisakah kau maafkan aku?!” tapi yang di katakan
Ayahnya adalah: “Kau tahu kenapa aku bisa selingkuh?! Itu karena kau tak bisa
memuaskanku! Kau lah yang membuatku pada akhirnya memilih untuk selingkuh.”
Dan dia
memilih gila saja lah.
***
“Bagaimana
ini?! Bagaimana kalau sampai dia tidak di temukan?!” isak Dena dari balik
dekapan Fajar. Sementara tim sar sedang menyisir bagian pinggir kawah dan
sebagian ada yang sampai masuk hutan demi menemukan Ana yang dari semalam
menghilang. Dia bilang cuma mau jalan-jalan di sekitar area kawah dan belum
kembali hingga siang ini.
“Dia
pasti akan di temukan,” Ujar Fajar mencoba menenangkan Dena atau menenangkan
hatinya sendiri yang kalut. Berusaha tak terlihat gusar.
Ada
rasa khawatir yang menyergap perasaan Fajar mengingat kalimat yang di ucapkan
Ana sebelum mendaki gunung kemarin.
“Kawah
gunung Ijen memang indah, cocok sekali sebagai tempat menghilang di urat bumi,”
Awalnya Fajar menganggap kalimat Ana sebagai gurauan semata, karena dia
mengucapkannya sembari tersenyum. Namun ternyata Ana benar-benar menghilang di
urat bumi.
Dua
lelaki berseragam orange berjalan mendekati mereka berdua. Yang pertama memperkenalkan
diri bernama Hadi, sedangkan laki-laki satunya bernama Rizki.
“Bagaimana
Pak?! Ada sudah ada tanda-tanda keberadaan Ana?!" Dena mulai bertanya, suaranya
bergetar membuat kalimatnya senyap-senyap hilang.
“Kami
akan berusaha semaksimal mungkin. Itu pasti,” Jawab yang pria bernama Hadi itu.
Wajahnya gusar walaupun dia sudah mencoba bersikap biasa saja.
“Kami
mendapat informasi dari penduduk sekitar sini yang mengatakan bahwa mereka
sempat melihat Ana berjalan menyisiri kawah, beberapa pengangkut belerang
bahkan telah memperingatkan bahwa kawasan itu berbahaya karena asap kuning
beracun yang siap mengancam nyawanya, namun nampaknya gadis itu tidak
menggubrisnya dan tetap melanjutkan perjalanannya menyisiri kawah,” Jelas
Rizki.
“Tapi
sampai sekarang kami tak menemukan tanda-tanda keberadaan gadis itu di sekitar
kawah, jadi kami memutuskan untuk menyisiri sebagian hutan,” Tambah Hadi.
Setelah
mendengar penjelasan dua anggota tim sar Dena memutuskan menutup wajahnya
dengan kedua telapak tangannya dan sedikit terdengar suara isak dari balik
sana.
***
Hamparan
pegungunan hijau terlukis jelas dalam genangan air gemericik yang menyelimuti
kakiknya, dingin di rasakan hawa di sekeliling. Harusnya tadi dia membawa
jaketnya, dia pergi hanya dengan menggunakan t-shirt lengan panjang dan shal
yang melingkari lehernya.
Kabut
putih lembut perlahan turun dan menciumi bibir sungai menambah hawa dingin di
sekujur tubuhnya. Dia bergidik sembari merekatkan shalnya demi menjaga hawa
tubuhnya. Tempat ini begitu sunyi, begitu damai dan tenang. Andai hatinya bisa
sedamai ini. Tidak ada yang dia rindukan selain kesejatian yang mungkin baginya
hanya mimpi.
Di
tempat ini dia tak perlu lagi mendengar orang-tuanya berteriak, membanting
barang atau raungan-raungan yang selama ini menjejali kupingnya. Kapankah
hidupnya bisa damai? Kapankah dia bisa menginjak kesejatian yang abadi? Ah…
rasanya dia tidak mau pergi dari urat bumi ini. Dia tidak mau kembali kerumah
demi menyonsong kesengsaraan. Rumah bukan lagi tempat dia bernaung, bukan
tempat dia melepaskan penat. Rumah malah yang membikin kepalanya tambah pusing,
dengan pertengkaran yang terjadi hampir setiap hari bahkan setiap waktu yang
cuma karena malasah kecil yang mereka pikir patut di besar-besarkan.
Rumah
cuma neraka yang siap membakarnya habis seperti kayu dalam tungku pembakaran
yang menguap perlahan menjadi butiran-butiran abu. Dan dirasakannya kini dia
cuma butiran-butiran abu yang melayang, mengambang tanpa tujuan, tanpa dia tahu
kemana arah angin membawa.
Dia ingin
sekali bisa menjadi batu ini, batu besar yang sanggup memopang tubuhnya. Batu
yang konstan berdiri sekalipun di terpa banjir atau badai. Batu yang tegar yang
tidak sering menangis seperti dirinya.
Perlahan
dia mengusap matanya, tapi aneh. Tak ada air. Biasanya dengan mudah menjadi
basah dan membanjiri wajahnya. Mungkin karena udara disini yang sangat dingin
yang sanggup membekukan air mata, pikirnya dalam hati.
Tidak
terasa hari sudah mulai senja, warna keemasan yang menyelimuti langit
menyilaukan matanya. Perlahan dia mulai bangkit dan berjalan di pinggir bukit,
dari atas sini dia bisa melihat awan yang menggelantung bebas. Pasti
menyenangkan bisa menjadi awan yang bisa terbang bebas di sekeliling langit
tanpa harus terus menempel pada tiang-tiang langit. Sekalipun awan bebas
terbang tapi awan masih boleh mendekati dan menciumi lagit. Dia ingin sekali
menjadi awan. Tidak di langit, tak juga di bumi. Mengambang saja.
Perlahan
dia melangkahkan kakinya, terasa ringan dan bebas dia mengambang di antara awan
keemasan dan tiang-tiang langit yang mulai menghitam. Dia rasakan sensasinya
mengambang. Dia tersenyum, tertawa bahkan berteriak hingga gaung suaranya
memecah kesunyian senja. Dia terbang. Dia terbang di atas urat bumi.
***
Jubah
hitam sang malam telah menlingkupi separuh bumi ketika Dena dan Fajar melihat
Hadi, Rizki bersama dua laki-laki yang juga mengenakan jaket berwarna orange di
ikuti beberapa warga yang berjalan di belakang mereka. Berjalan mendekati Dena
dan Fajar yang duduk lemas di depan tenda.
Fajar
bangkit begitu melihat wajah Hadi dan Rizki lagi, begitu juga Dena. Tubuh
lemasnya di bungkus jaket super tebal memaksa berdiri biarpun tubuhnya sudah
tak punya tenaga lagi.
“Bagaimana
pak?!” Fajar bertanya dengan mata mengekori Hadi dan Rizki satu persatu mencoba
menangkap firasat yang ada di kepala mereka.
“Kami
sudah menemukannya,” Ujar Hadi. Namun ‘kalimat sudah menemukannya’ belumlah
menjadi akhir. Fajar dengan jelas dapat menangkap sorot mata Hadi yang tidak
berani memandang ke arah Fajar dan Dena. Seperti berbicara pada kabut malam
Hadi memalingkan wajahnya, menarik napas dan keluarkah kalimat klimaks tanda
cerita ini bakal selesai. “Tapi. Kami mohon maaf karena_”
Kalimat
terakhir Hadi tak terselesaikan, namun di genapi oleh jerit tangis Dena yang
seketika pecah. Dia menjerit. Meraung. Sembari terus memanggil-manggil nama Ana
dia tak sanggup lagi menegakkan kakinya. Sementara itu Fajar hanya bisa
tertunduk lemah, letih, lesu, mirip iklan
obat. Tak percaya bahwa pada liburan kali ini berakhir dengan sebuah
kehilangan besar. Kehilangan Ana. Menghilang dalam kabut tebal malam hari dan
tak pernah kembali. Kesunyian malam itu berubah menjadi tangis dan jerit suara
yang saling bersahutan memecah keheningan malam di gunung Ijen. Sebuah gunung
yang berada tepat di sebelah barat kota Banyuwangi, dengan kawah Ijen yang
sudah sangat masyur. Tempat itu memang cocok untuk menghilang dan menjadi
hantu.
Banyuwangi, 10 april 2013
Dari Anggi: “Sepertinya menyenangkan bisa menghilang
dalam balik kabut. Impianku adalah, dapat
menghilang bersama kabut malam. Serupa aku kabut malam ada namun tak
pernah di pandang nyata. Aku ingin menghilang saja.”
NB: Bagi namanya yang tercantum tak letih-letih bagi
saya untuk katakan harap maklum dan jangan tersinggung. Karena ini hanya fiksi
dan harapan penulis sendiri yang masih amatiran, maka jangan meminta royalty
apalagi kalau sampai mengirim somasi. Sekian dan terimakasih.”
1 komentar:
jadi solusinya? make a friend ya kan? walopun kita nggak bisa melawan kekuatan banyak orang, setidaknya kita bisa mencari teman satu atau dua. krn ketika kita terlihat sedang mengobrol dg orang, mereka akan sedikit segan
Posting Komentar