Mengapa Seorang Loser Harus Tercipta Di Dunia
Orang-orang biasa memanggilku Riris.
Nama lengkapku Paijem Sutrisna. Aku adalah seorang siswa yang tidak cukup
teladan yang bersekolah disekolah teladan. Benar, aku pun terseok-seok
mengikuti teman-teman yang bagiku seperti “monster”. Mereka benar-benar bisa
disebut sebagai siswa teladan. Dan aku pun tidak bisa mengikuti jejak mereka,
aku hampir selalu mendapatkan ranking terbawah setiap penerimaan rapot.
Gara-gara masalah akademik inipun
aku menderita di sekolah. Aku mendapat bullyan dari para guruku. Teman-teman
sudah cukup kasihan dan memilih untuk tidak memperdulikanku. Tapi dari sini aku
semakin tersiksa. Aku tidak mendapatkan sapaan dari teman-teman seperti yang ku
harapkan. Selain itu aku juga merasa minder pada mereka karena di kelas dan
dilapangan aku selalu mendapat ejekan dari guruku. Aku menjadi jarang menyapa
teman-temanku, paling hanya teman sebangku untuk memecah keheningan. Semakin
jauhlah hubunganku dengan teman-temanku.
Aku tidak pernah menikmati masa
SMAku. Di saat teman-temanku pergi dengan teman-temannya atau dengan pacarnya,
aku hanya di rumah dan melihat foto-foto kebersamaan mereka di facebook.
Sebenarnya aku tidak benar-benar sendirian, hanya teman-temanku kadang sibuk
dengan pacar barunya yang selalu berganti setiap bulan, teman-teman SMP juga
sibuk sekali dengan lingkungan barunya. Aku seperti tidak punya kehidupan, aku
tidak mengerti apa yang bisa kulakukan di kamar 3x3 meter selain mengutak utik
handphone jadul yang bolak-balik mati sendiri.
Suatu hari teman sebangkuku marah
denganku, dan memutuskan duduk bersama teman yang lain. Aku duduk sendirian,
dipojokan. Hatiku terasa sakit melihat teman-temanku yang berceloteh ramai,
sedangkan aku sendirian. Segala pikiran buruk ada dikepalaku. Sudah tidak punya
teman, bodoh, punya nasib menyedihkan pula. Di hari yang sama ketika aku duduk
sendirian, ada teman laki-laki duduk disebelahku dan bertanya-tanya rumahku
dimana. Pastilah dia kasihan kepadaku. Dan tak disangka-sangka ternyata ia
punya rumah yang dekat dengan rumahku, pernah masuk SD yang sama pula dengan
SDku dulu, tetapi ketika aku baru datang di kota yang sekarang aku singgah, ia
pindah dari SD itu. Teman-teman perempuan di depanku mengolok-olokku dan terus
mentertawakanku dihari-hari berikutnya, aku dan teman laki-laki itu seperti
sedang temu kangen. Padahal yang mengolok-olokku adalah unggulan sekolah
sekaligus monster bagi sekolah saingan kami. Berotak encer, tapi ... ah sudah
lah. Mungkin aku yang terlalu sensitif.
Pernah guruku mempermalukanku di
depan teman-temanku yang lainnya, sebenarnya itu sudah yang kesekian kalinya.
Tapi ini lebih memalukan. Jadwal olahraga kelasku sebelum dan sesudah
istirahat, yang mengharuskan kami tetap melanjutkan olahragaketika jam
istirahat dan benar-benar mengambil istirahat setelah 2 jam pelajaran olahraga
selesai. Waktu ituditengah-tengah manusia yang sedang menikmati makanan sambil
menonton kelasku yang sedang ujian lari, guruku meneriakiku bodoh dalam Bahasa
Jawa dan tidak mampu karena lariku yang paling tertinggal. Benar, itu sangat
menggelikan. Karena dari kecil aku tidak pernah dibiasakan untuk berlari, aku
punya salah satu penyakit pernafasan, dan aktifitas berlari adalah salah satu
pantanganku. Guruku meneriaki nama lengkapku dan mengolokku dengan kekuatan
suara penuh, selain itu dikatakan juga aku terlalu lemah. Aku malu sekali waktu
itu, murid yang dari luar kelas juga kebetulan banyak yang mengenalku karena
memang kami pernah sekelas di tingkatan sebelumnya. Beberapa teman-temanku yang
menonton tadinya menyemangatiku terdiam setelah mendengar guruku meneriakiku.
Mereka semua memandangku iba, beberapa ada yang jelas-jelas terbahak.
Setelah insiden dipermalukan guru
tersebut, aku murung dikamar. Mengapa manusia sepertiku harus tercipta? Yang
bodoh dalam segala hal, bahkan bergaul pun tidak bisa. Waktu itu jelas diriku
masih labil, aku mengambil kaca yang tergantung di dinding kamarku dan
membantingnya tanpa perasaan bersalah. Bibir sebelah kananku tersenyum kaku.
Ibuku membuka pintu kamarku.
“Apa yang pecah?” tanya ibuku.
Aku diam sambil memunguti kaca yang
berserakan dan segera memasukkan ke kresek yang ada dikamarku.
“Kocone
pecah to? Ngopo kok pecah?” tanya ibuku.
Dalam pikiranku, aku berpikir.
Kasihan ibuku punya anak sepertiku. Sudah mahal-mahal menyekolahkan dan
membesarkanku, berharap anaknya bisa mencetak prestasi seperti ketika di SMP,
tetapi malah tidak mendapatkan apa-apa. Dadaku menjadi sesak, mataku berair.
Air mata bergulir cepat kebawah
daguku. Tapi untungnya rambutku panjang melewati daguku.
Aku menggeleng untuk merespon
pertanyaan ibuku sambil terus membereskan sisa-sisa perbuatan bodohku.
“Perlu dibantu nggak?” tanya ibuku.
Aku menggeleng lebih kuat.
“Oh, yo uwis. Nanti dipel juga ya biar serpihannya nggak kena kaki.”
kata ibuku yang langsung menutup pintu kamarku.
Air mataku mengucur semakin deras
dan menetes ke lantai. Aku menangis sejadi-jadinya tanpa suara sambil tidur
menyamping disekitar pecahan kaca dengan posisi memeluk lututku. Aku tiduran
dengan posisi itu sekitar setengah jam. Kemudian bangkit setelah sadar tidak
ada gunanya aku seperti itu, tidak ada yang tahu aku sedang sedih. Percuma
menghabiskan tenaga.
ANAK BODOH! teriakku pada diri
sendiri. mengangkat serpihan kaca yang paling besar dan melihat wajahku ke
dalam cermin. Ini anak ibuku yang tidak berguna. Guruku benar, AKU BODOH!
Aku ingin mati saja, kataku dalam
hati dan segera menyayatkan serpihan kaca itu ke tanganku. SREET. Pecahan kaca
menggores tanganku tapi belum sampai berdarah. Hanya menggores permukaan
kulitnya saja. Sakit. Tapi kemudian aku teringat suatu cerita yang juga
menerangkan kalau menggores urat di tangan tidak akan membunuh seseorang, hanya
akan menghabiskan biaya. Otomatis jika aku dirawat pasti akan menambah beban
orang tuaku lagi. Terlebih lagi aku juga pernah dengar kalau orang yang bunuh
diri tidak akan diterima surga, mencium baunya pun tidak bisa.
Aku menahan nafsuku untuk tidak
terbawa emosi yang lebih dalam. Sabar, sabar, dan sabar. Aku harus bersabar
meskipun hanya itu yang bisa kulakukan.
Bagiku, cupu dalam dunia nyata itu
sama sekali tidak secupu model orang-orang yang ada di film. Cupu, sering
dibully, tetapi berprestasi. Di sekolahku jarang yang seperti itu. Atau jangan-jangan
kalian juga cupu dan berprestasi? Aku ucapkan selamat saja kalau begitu.
Mungkin aku tidak culun-culun amat, hanya pergaulanku yang bisa membuatku
disebut cupu. Tidak pernah bergabung dengan mereka, memang siapa yang peduli
denganku?
Lalu apa gunanya seseorang sepertiku
diciptakan? Seorang loser yang hanya jadi tempat bullyan orang-orang diluar?
Apakah untuk menjadi hiburan orang-orang “populer” diluar sana? Mungkin sampai
sekarang aku belum tahu jawabannya.
Beberapa tahun yang lalu sebelum ujian
sekolah selesai, beberapa monster di kelasku menerima cobaannya—yang juga
mungkin memberiku sedikit jawaban mengapa aku mempunyai nasib yang seperti ini,
loser. Ada yang ketahuan pacaran kemudian diskors (sekolahku ketat sekali dalam
hal ini), ada yang hamil (padahal sangat berprestasi dalam satu bidang dan
hampir go Internasional—sebelum ia hamil), dan ada yang setelah lulus langsung
menikah karena ternyata sudah hamil duluan(dan kemarin-kemarin ada yang sudah
cerai). Beberapa satu dua teman yang dekat denganku memandang orang-orang itu
jijik. Aku bukannya merasa puas, aku hanya tetap diam dan bersyukur kehidupanku
tidak serumit kehidupan mereka.
Ngomong-ngomong tentang
keluarga–by-accident, sebagai perempuan, tentunya mereka akan sangat sayang
pada anaknya karena darah dagingnya sendiri. Tetapi yang jadi suaminya? Hanya
miris yang ada di mataku, dan tetap mendoakan semoga si suamimenjadi lebih
perhatian terhadap keluarga–by-accidentnya.Tentunya akan sulit membangun
komitmen yang serius di umur yang sangat muda ini, belum lagi tekanan dari
keluarga besar dan tetangga. Ketika aku melihat mereka mengurus anak dan kerja
keras menghidupi keluarganya, aku masih bisa menikmati hidupdengan beberapa
teman kuliahku yang sama-sama belum terikat komitmen.
Sampai disini yang dapat aku ambil
dari kisahku sendiri adalah, Tuhan sangat menyayangiku. Dan Tuhan
memperlihatkan semuanya di depan mataku, sehingga aku amat bersyukur dengan
hidup yang Tuhan berikan kepadaku, sekalipun aku terbilang “loser” dan segala
kekurangan yang ku punya.Jadi untuk apa loser diciptakan? Menurut teori
ngasalku, sebenarnya istilah loser tidak ada, yang ada adalah orang sabar yang
kuat menerima cobaannya walaupun disertai perasaan terhina dan sebagainya.
Cobaan yang kita terima sudah setara dengan kemampuan kita yang akan
menanggungnya. Dan orang yang menerima cobaan akan dikurangi dosanya dan ditinggikan derajatnya.
—Riris
follow @sobatKAP
3 komentar:
Bagus sekali .. Sangat Inspiratif :)
bagus2 isinya blog ini. tp sayang ada musik yg main sendiri. mengganggu mnurut ane.
sekilas awal mirip dgn kisah hudupku
Posting Komentar