Sabtu, 06 September 2014


 Mengapa Seorang Loser Harus Tercipta Di Dunia


Orang-orang biasa memanggilku Riris. Nama lengkapku Paijem Sutrisna. Aku adalah seorang siswa yang tidak cukup teladan yang bersekolah disekolah teladan. Benar, aku pun terseok-seok mengikuti teman-teman yang bagiku seperti “monster”. Mereka benar-benar bisa disebut sebagai siswa teladan. Dan aku pun tidak bisa mengikuti jejak mereka, aku hampir selalu mendapatkan ranking terbawah setiap penerimaan rapot.
Gara-gara masalah akademik inipun aku menderita di sekolah. Aku mendapat bullyan dari para guruku. Teman-teman sudah cukup kasihan dan memilih untuk tidak memperdulikanku. Tapi dari sini aku semakin tersiksa. Aku tidak mendapatkan sapaan dari teman-teman seperti yang ku harapkan. Selain itu aku juga merasa minder pada mereka karena di kelas dan dilapangan aku selalu mendapat ejekan dari guruku. Aku menjadi jarang menyapa teman-temanku, paling hanya teman sebangku untuk memecah keheningan. Semakin jauhlah hubunganku dengan teman-temanku.
Aku tidak pernah menikmati masa SMAku. Di saat teman-temanku pergi dengan teman-temannya atau dengan pacarnya, aku hanya di rumah dan melihat foto-foto kebersamaan mereka di facebook. Sebenarnya aku tidak benar-benar sendirian, hanya teman-temanku kadang sibuk dengan pacar barunya yang selalu berganti setiap bulan, teman-teman SMP juga sibuk sekali dengan lingkungan barunya. Aku seperti tidak punya kehidupan, aku tidak mengerti apa yang bisa kulakukan di kamar 3x3 meter selain mengutak utik handphone jadul yang bolak-balik mati sendiri.
Suatu hari teman sebangkuku marah denganku, dan memutuskan duduk bersama teman yang lain. Aku duduk sendirian, dipojokan. Hatiku terasa sakit melihat teman-temanku yang berceloteh ramai, sedangkan aku sendirian. Segala pikiran buruk ada dikepalaku. Sudah tidak punya teman, bodoh, punya nasib menyedihkan pula. Di hari yang sama ketika aku duduk sendirian, ada teman laki-laki duduk disebelahku dan bertanya-tanya rumahku dimana. Pastilah dia kasihan kepadaku. Dan tak disangka-sangka ternyata ia punya rumah yang dekat dengan rumahku, pernah masuk SD yang sama pula dengan SDku dulu, tetapi ketika aku baru datang di kota yang sekarang aku singgah, ia pindah dari SD itu. Teman-teman perempuan di depanku mengolok-olokku dan terus mentertawakanku dihari-hari berikutnya, aku dan teman laki-laki itu seperti sedang temu kangen. Padahal yang mengolok-olokku adalah unggulan sekolah sekaligus monster bagi sekolah saingan kami. Berotak encer, tapi ... ah sudah lah. Mungkin aku yang terlalu sensitif.
Pernah guruku mempermalukanku di depan teman-temanku yang lainnya, sebenarnya itu sudah yang kesekian kalinya. Tapi ini lebih memalukan. Jadwal olahraga kelasku sebelum dan sesudah istirahat, yang mengharuskan kami tetap melanjutkan olahragaketika jam istirahat dan benar-benar mengambil istirahat setelah 2 jam pelajaran olahraga selesai. Waktu ituditengah-tengah manusia yang sedang menikmati makanan sambil menonton kelasku yang sedang ujian lari, guruku meneriakiku bodoh dalam Bahasa Jawa dan tidak mampu karena lariku yang paling tertinggal. Benar, itu sangat menggelikan. Karena dari kecil aku tidak pernah dibiasakan untuk berlari, aku punya salah satu penyakit pernafasan, dan aktifitas berlari adalah salah satu pantanganku. Guruku meneriaki nama lengkapku dan mengolokku dengan kekuatan suara penuh, selain itu dikatakan juga aku terlalu lemah. Aku malu sekali waktu itu, murid yang dari luar kelas juga kebetulan banyak yang mengenalku karena memang kami pernah sekelas di tingkatan sebelumnya. Beberapa teman-temanku yang menonton tadinya menyemangatiku terdiam setelah mendengar guruku meneriakiku. Mereka semua memandangku iba, beberapa ada yang jelas-jelas terbahak.
Setelah insiden dipermalukan guru tersebut, aku murung dikamar. Mengapa manusia sepertiku harus tercipta? Yang bodoh dalam segala hal, bahkan bergaul pun tidak bisa. Waktu itu jelas diriku masih labil, aku mengambil kaca yang tergantung di dinding kamarku dan membantingnya tanpa perasaan bersalah. Bibir sebelah kananku tersenyum kaku. Ibuku membuka pintu kamarku.
“Apa yang pecah?” tanya ibuku.
Aku diam sambil memunguti kaca yang berserakan dan segera memasukkan ke kresek yang ada dikamarku.
Kocone pecah to? Ngopo kok pecah?” tanya ibuku.
Dalam pikiranku, aku berpikir. Kasihan ibuku punya anak sepertiku. Sudah mahal-mahal menyekolahkan dan membesarkanku, berharap anaknya bisa mencetak prestasi seperti ketika di SMP, tetapi malah tidak mendapatkan apa-apa. Dadaku menjadi sesak, mataku berair.
Air mata bergulir cepat kebawah daguku. Tapi untungnya rambutku panjang melewati daguku.
Aku menggeleng untuk merespon pertanyaan ibuku sambil terus membereskan sisa-sisa perbuatan bodohku.
“Perlu dibantu nggak?” tanya ibuku.
Aku menggeleng lebih kuat.
“Oh, yo uwis. Nanti dipel juga ya biar serpihannya nggak kena kaki.” kata ibuku yang langsung menutup pintu kamarku.
Air mataku mengucur semakin deras dan menetes ke lantai. Aku menangis sejadi-jadinya tanpa suara sambil tidur menyamping disekitar pecahan kaca dengan posisi memeluk lututku. Aku tiduran dengan posisi itu sekitar setengah jam. Kemudian bangkit setelah sadar tidak ada gunanya aku seperti itu, tidak ada yang tahu aku sedang sedih. Percuma menghabiskan tenaga.
ANAK BODOH! teriakku pada diri sendiri. mengangkat serpihan kaca yang paling besar dan melihat wajahku ke dalam cermin. Ini anak ibuku yang tidak berguna. Guruku benar, AKU BODOH!
Aku ingin mati saja, kataku dalam hati dan segera menyayatkan serpihan kaca itu ke tanganku. SREET. Pecahan kaca menggores tanganku tapi belum sampai berdarah. Hanya menggores permukaan kulitnya saja. Sakit. Tapi kemudian aku teringat suatu cerita yang juga menerangkan kalau menggores urat di tangan tidak akan membunuh seseorang, hanya akan menghabiskan biaya. Otomatis jika aku dirawat pasti akan menambah beban orang tuaku lagi. Terlebih lagi aku juga pernah dengar kalau orang yang bunuh diri tidak akan diterima surga, mencium baunya pun tidak bisa.
Aku menahan nafsuku untuk tidak terbawa emosi yang lebih dalam. Sabar, sabar, dan sabar. Aku harus bersabar meskipun hanya itu yang bisa kulakukan.
Bagiku, cupu dalam dunia nyata itu sama sekali tidak secupu model orang-orang yang ada di film. Cupu, sering dibully, tetapi berprestasi. Di sekolahku jarang yang seperti itu. Atau jangan-jangan kalian juga cupu dan berprestasi? Aku ucapkan selamat saja kalau begitu. Mungkin aku tidak culun-culun amat, hanya pergaulanku yang bisa membuatku disebut cupu. Tidak pernah bergabung dengan mereka, memang siapa yang peduli denganku?
Lalu apa gunanya seseorang sepertiku diciptakan? Seorang loser yang hanya jadi tempat bullyan orang-orang diluar? Apakah untuk menjadi hiburan orang-orang “populer” diluar sana? Mungkin sampai sekarang aku belum tahu jawabannya.
Beberapa tahun yang lalu sebelum ujian sekolah selesai, beberapa monster di kelasku menerima cobaannya—yang juga mungkin memberiku sedikit jawaban mengapa aku mempunyai nasib yang seperti ini, loser. Ada yang ketahuan pacaran kemudian diskors (sekolahku ketat sekali dalam hal ini), ada yang hamil (padahal sangat berprestasi dalam satu bidang dan hampir go Internasional—sebelum ia hamil), dan ada yang setelah lulus langsung menikah karena ternyata sudah hamil duluan(dan kemarin-kemarin ada yang sudah cerai). Beberapa satu dua teman yang dekat denganku memandang orang-orang itu jijik. Aku bukannya merasa puas, aku hanya tetap diam dan bersyukur kehidupanku tidak serumit kehidupan mereka.
Ngomong-ngomong tentang keluarga–by-accident, sebagai perempuan, tentunya mereka akan sangat sayang pada anaknya karena darah dagingnya sendiri. Tetapi yang jadi suaminya? Hanya miris yang ada di mataku, dan tetap mendoakan semoga si suamimenjadi lebih perhatian terhadap keluarga–by-accidentnya.Tentunya akan sulit membangun komitmen yang serius di umur yang sangat muda ini, belum lagi tekanan dari keluarga besar dan tetangga. Ketika aku melihat mereka mengurus anak dan kerja keras menghidupi keluarganya, aku masih bisa menikmati hidupdengan beberapa teman kuliahku yang sama-sama belum terikat komitmen.
Sampai disini yang dapat aku ambil dari kisahku sendiri adalah, Tuhan sangat menyayangiku. Dan Tuhan memperlihatkan semuanya di depan mataku, sehingga aku amat bersyukur dengan hidup yang Tuhan berikan kepadaku, sekalipun aku terbilang “loser” dan segala kekurangan yang ku punya.Jadi untuk apa loser diciptakan? Menurut teori ngasalku, sebenarnya istilah loser tidak ada, yang ada adalah orang sabar yang kuat menerima cobaannya walaupun disertai perasaan terhina dan sebagainya. Cobaan yang kita terima sudah setara dengan kemampuan kita yang akan menanggungnya. Dan orang yang menerima cobaan akan dikurangi dosanya dan ditinggikan derajatnya.
           
—Riris 




follow @sobatKAP

3 komentar:

Pribadi mengatakan...

Bagus sekali .. Sangat Inspiratif :)

Anonim mengatakan...

bagus2 isinya blog ini. tp sayang ada musik yg main sendiri. mengganggu mnurut ane.

Zefri Faris mengatakan...

sekilas awal mirip dgn kisah hudupku

Tentang KAP

Selamat datang di keluarga kecil Komunitas Anak Pendiam!

Komunitas Anak Pendiam atau sering disingkat dengan KAP. Merupakan sebuah komunitas yang diisi oleh anak-anak pendiam dari seluruh penjuru Indonesia. Kami berharap komunitas ini bisa menjadi tempat bertukar cerita, bertukar pikiran, dan pengalaman dalam menjalani hidup sebagai pendiam.

Paling Banyak Dibaca